Jatim1.com OPINI – Telah disepakati bersama bahwa setiap 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Meskipun diketahui, predikat pahlawan dan pemberontak itu tipis sekali batasnya, bergantung siapa yang menilai. Kemudian, peringatan hari yang mulia ini bermula pada aksi heroik yang dilakukan rakyat Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan. Orientasinya adalah pada anti kolonialisme yang ingin merebut kembali kedaulatan bangsa.
Pertempuran yang terjadi di Surabaya melibatkan ribuan masyarakat Surabaya melawan pasukan Belanda yang awalnya Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah komandan pasukan Britania, Brigadir A. W. S. Mallaby tewas dalam baku tembak. Britania melakukan serangan balasan punitif pada 10 November dengan bantuan pesawat tempur. Pasukan kolonial merebut sebagian besar kota dalam tiga hari, pasukan Republik yang minim senjata melawan selama tiga minggu, dan ribuan orang meninggal dunia ketika penduduk kota mengungsi ke pedesaan.
Setidaknya telah jatuh ribuan korban jiwa dalam tragedi ini. Peristiwa berdarah ini membuat Ibu Pertiwi mengenang duka dengan lahirnya peringatan Hari Pahlawan Nasional. Namun, apakah cukup jika diperingati saja?
Definisi pahlawan begitu luas dan tak terbatas, namun secara substansial bahwa pahlawan merupakan nilai dari kepahlawanan itu sendiri, Artinya, bahwa konsepsi pahlawan adalah bukan orangnya tapi semangatnya, bukan fisiknya tapi jiwanya. Dengan penanaman mindset seperti ini, kita akan lebih berapresiasi pada pahlawan yang eksis, bukan hanya pada masa lampau tapi juga masa kini.
Membicarakan pahlawan dalam konteks kekinian sangat erat kaitannya dengan kepemudaan, pemuda merupakan tonggak kepemimpinan di massa depan, dimana pemuda hari ini ialah pemimpin yang akan memimpin bangsa ini seperempat abad ini kedepan.