Opini  

Corona, Uji Atas Ketulusan Beragama

sean choir

Berita dari mereka yang terjebak China phobia tidak ada henti menyebarkan hoax. Betapa menyedihkan. Betapa buruknya nasib China. Namun setelah tanggal 23 Februari, China kembali membuka diri. Kehidupan berangsur-angsur normal. Penyembuhan sudah di atas 50%, mendekati 100% dan tingkat korban mendekati nol persen. Bahkan beberapa RS darurat korban corona sudah ditutup karena tidak ada lagi pasien yang datang. Produksi sudah kembali menggeliat. Tapi apa yang terjadi kemudian? Dunia menyambut dengan penuh suka cita, bukan karena China sudah recover, tetapi “China bantu kami mengatasi dampak dari adanya virus Corona”.

Mengapa? Ketika pada akhirnya penyebaran virus corona melanda beberapa negara, semua negara panik. Bukan karena kawatir atas virus corona tetapi dampak dari kerusakan ekonomi dari adanya virus corona itu. Bursa saham jatuh. Pabrik menurunkan produksi, bahkan ada yang tutup. PHK terjadi di mana-mana. Bisnis di pusat wisata terancam gulung tikar karena sepi wisatawan. Bandara sepi. Suasana mencekam terbentuk akibat pemberitaan hoax sebelumnya terhadap China, kini berbalik kepada mereka sendiri. Ternyata dunia sadar, bahwa China adalah bangsa yang tangguh, dan mereka bangsa yang rapuh. Fakta mereka tidak sekuat China.

Arab kehilangan pendapatan dari wisatawan haji. Ibadah haji sebagai simbol agama samawi runtuh. Kedigdayaan MIGAS berkah Tuhan kehilangan pendapatan dari ekspor migas, karena ⅔ pembeli migas Arab adalah China. Kepanikan ekonomi melahirkan krisis politik di Arab. Saling berebut kekuasaan. Gereja Bethlehem ditutup. AS panik, banyak distributor yang gulung tikar karena kurang suplai barang dari China, dan sementara masyarakat AS panik memborong kebutuhan umum karena khawatir pemerintah tidak mampu menyediakan barang akibat prahara corona yang sudah 600 orang terinfeksi virus. Eropa mencekam sejak Itali mengkarantikan 16 juta orang penduduknya. Dari perang dagang menuju perang harga minyak. Seluruh bursa jatuh. Kepanikan yang meluas tak bisa dihindari…

Dan China tersenyum, bukan mengejek, tetapi menenangkan mereka semua. Teman saya di China dalam emailnya mengatakan, ”Tidak ada manusia yang sempurna, tugas manusia melewati ketidaksempurnaan itu, dengan rendah hati, dan fokus kepada pemulihan, bukannya kepada kepanikan. Bagaimana menjadikan batu sandungan sebagai batu loncatan agar lebih baik dari sebelumnya. Karena kepanikan tidak menghasilkan apa apapun. Lewat virus corona Tuhan sedang berdialog kepada kita semua. Untuk hidup damai dalam semangat kemanusiaan di atas perbedaan agama dan ideologi.”

Mengapa????

Ternyata ideologi dan agama bukan sumber kekuatan. Karena politik menciptakan rasis, karena politisasi agama yang primordialistik melahirkan intoleransi, dan semua membuat mereka rapuh.

Exit mobile version