Oleh : Kate Grealy – Kandidat PhD di Department of Political and Social Change, Australian National University.
Jatim1.com – Beberapa kelompok yang dianggap ‘ekstremis’ termasuk komunitas Wahhabi dan Salafi dan Hizbut Tahrir (HTI) yang sekarang dilarang. Perwakilan dari komunitas-komunitas ini telah mengajukan klaim balasan mereka sendiri, mereka beralasan bahwa pengaitan ekspresi agama tertentu sebagai bentuk ‘ekstremisme’ yang berisiko lebih merupakan upaya untuk meminggirkan mereka secara politis daripada mencegah terorisme.
Beberapa komunitas ini berpendapat bahwa mereka sebenarnya siap dan bersemangat untuk bekerja bersama pasukan kontraterorisme untuk mencegah kekerasan. Perkembangan ini terjadi bersamaan dengan tren lain: narasi keamanan nasional yang memandang Pancasila sebagai sesuatu yang sakral dan membutuhkan perlindungan dengan segala cara, sampai dengan dan termasuk penggunaan langkah-langkah anti-demokrasi.
Dalam iklim ini, ketika suatu kelompok diberi label sebagai ancaman keamanan, tindakan luar biasa digunakan terhadapnya untuk mempertahankan status quo keamanan, sebagaimana dicontohkan oleh pelarangan HTI.
Namun, Hizbut Tahrir memang organisasi yang pro-Khilafah, anti-demokrasi, dan anti-Pancasila. Label ‘radikal’ kini semakin banyak digunakan untuk mendelegitimasi, bukan ‘Islamis’ yang tulen, tetapi beberapa pengkritik pemerintah.
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Indonesia telah menggunakan label ‘radikal’ untuk membungkam aktivis, individu, gerakan, dan institusi. Tren ini merendahkan kebebasan berbicara dan berkumpul, menghasilkan lingkungan yang wacananya beracun dan dikendalikan, yang kesemuanya juga dapat berkontribusi pada polarisasi politik yang lebih besar.
Sekuritisasi, Polarisasi, dan Konstruksi Ancaman Keamanan
Mengamankan (securitisation) umat Islam melibatkan penggambaran bentuk-bentuk tertentu dari Islam sebagai ancaman. Efeknya telah dipelajari secara luas di Barat, namun demikian, mengamankan Muslim terjadi baik di masyarakat non-Muslim dan mayoritas Muslim. Di Indonesia, bentuk dan fungsinya berbeda dibanding dengan manifestasinya di Barat.
Dalam iklim politik saat ini, pengamanan dari ekspresi keyakinan tertentu di Indonesia telah menjadi kebijakan politik. Terlebih lagi, selama lima tahun terakhir, organisasi yang tidak memiliki hubungan dengan terorisme telah diberi label ‘radikal’ dan dengan demikian merupakan ancaman keamanan.