Opini  

Siapa yang Radikal?

Seperti yang dijelaskan Aslan dkk, fungsi politik dasar dari pengamanan atas kelompok-kelompok tertentu adalah untuk membuat mereka berada di luar komunitas politik dengan mengubah mereka menjadi ancaman. Hal ini dicapai dengan menarik batasan antara Muslim ‘modern’, ‘moderat’ dan ‘terbelakang’, Muslim yang ‘berbahaya’. Bentuk pembingkaian ini membenarkan dan menormalkan ‘pengecualian’ Negara dalam tindakan ‘berbasis keamanan’ yang menargetkan Muslim tertentu.

Konstruksi tujuan-tujuan Islamis sebagai ancaman keamanan nasional telah memungkinkan langkah-langkah anti-demokrasi menjadi dapat dibenarkan secara politis. Ini berarti bahwa upaya pemerintah untuk ‘melindungi’ status quo demokratis dari ‘Islamisme’ telah, pada gilirannya, menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Seperti yang dikemukakan Meitzner pada tahun 2017, tren-tren ini sedang mengatur demokrasi Indonesia ke dalam proses dekonsolidasi.

Menodai Pelajar, Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Label Radikal

Protes besar-besaran mengguncang kota-kota di seluruh Indonesia sepanjang September 2019, sebagian besar didorong oleh kaum muda dan mahasiswa yang tidak puas. Puluhan ribu mahasiswa dan aktivis Indonesia turun ke jalan untuk memprotes, antara lain: melemahnya komisi pemberantasan korupsi, memburuknya kebakaran hutan yang diabaikan oleh pemerintah, militerisasi di Papua, eksploitasi petani dan pekerja, undang-undang privatisasi yang ganas, dan kemunduran demokrasi.

Sebagai tanggapan, ada upaya oleh ‘influencer’ pro pemerintah untuk membingkai gerakan tersebut sebagai anarkis; radikal yang dipengaruhi atau disusupi oleh para Islamis, dan bahkan berpotensi ditunggangi teroris.

Menteri Keamanan Indonesia menyindir bahwa ada teroris dan penyelenggara pro-kekhalifahan di antara gerakan mahasiswa. Klaim-klaim ini didukung oleh influencer nasionalis di media sosial yang menuduh bahwa protes tersebut adalah konspirasi Islam yang bertujuan mendiskreditkan Jokowi, si ‘Muslim moderat’.

Fokus terpenting bagi para aktivis adalah keputusan pemerintah untuk bergegas menuju revisi undang-undang tentang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang sangat melemahkan pengawas korupsi ini dengan merusak independensi Komisi dan membatasi kekuatan penyelidikannya. Ini bukan pertama kalinya proses politik pelemahan KPK melalui upaya revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut terjadi setidaknya dua kali selama masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu pada tahun 2010 dan 2012. Tetapi selalu gagal karena penolakan dari masyarakat sipil.

Dalam minggu-minggu menjelang pengumuman perubahan legislatif ini, Komisi itu sendiri juga dilabeli sebagai sarang radikalisme, sebuah taktik yang mencerminkan upaya untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa. Hal ini menyebabkan anggota KPK menjadi sasaran karena keyakinan agama masing-masing dalam upaya untuk mendiskreditkan mereka.

Seorang penyelidik senior dari KPK telah dipilih oleh penentang lembaga ini, dimana para pakar menuduhnya sebagai anggota dari sel tidur kelompok radikal rahasia.

Exit mobile version