Levi menambahkan, kekurangan lain dari Pilkada langsung ialah para calon kepala daerah juga harus memiliki modal dana yang cukup besar karena diharuskan berkampanye secara fisik dari pintu ke pintu (door to door) dan rawan disusupi kepentingan pemodal.
“Selain itu, pemilih akan menjadi individualis dan materialistis, calon kepala daerah hanya mengandalkan ketokohan dan menafikan kemampuan memimpin organisasi yang kelak dibutuhkan saat terpilih menjadi kepala daerah,” imbuhnya.
Levi juga mengingatkan, pilkada langsung berpotensi terjadinya konflik horizontal maupun vertikal antarbasis pendukung calon, terlebih, apabila pemahaman politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang.
Penyelenggaran pilkada langsung, katanya, juga kerap terjadi penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baik itu dari anggaran bantuan sosial maupun pos anggaran lain oleh petahana untuk kepentingan pribadi karena maju kembali bertarung dalam pilkada.
“Tak jarang daerah abai dalam mempersiapkan kebutuhan anggaran pilkada sehingga membuat daerah kebingungan saat menjelang dimulainya tahapan pelaksanaan pilkada,” tuturnya.